Sejak masa lampau, sebelum kedatangan Islam, masyarakat Arab Jahiliyah telah memiliki peradaban. Mereka memiliki sistem sosial, budaya, perilaku dalam masyarakat di sana kala itu yang berkaitan dengan akhlaq. Ada akhlaq yang baik tetapi banyak pula yang buruk.
Dalam salah satu hadits, Rasulullah SAW bersabda:
"Sesunguhnya Aku diutus ke muka bumi ini, untuk menyempurnakan Akhlaq yang mulia." (HR. Bukhari)
Dari hadits tersebut, kita mengetahui bahwa sebelum Muhammad diangkat sebagai Rasulullah, orang Arab Jahiliyah itu sudah mengenal yang disebut dengan Akhlaq. Jadi, kita tidak boleh menafikan bahwa orang Arab Jahiliyah pun mempunyai akhlaq, dan jangan pula berpikir bahwa akhlaq itu hanya ada dalam agama Islam. Lalu fungsi kedatangan Islam untuk apa? Yaitu untuk menyempurnakannya. Artinya, yang lebih sempurna adalah akhlaq yang dibawa oleh Islam.
Tahun Hijriyah dan Latar Belakangnya
Tidak berbeda pula bahwa sejak masa lampau, sebelum kedatangan Islam, masyarakat Arab Jahiliyah itu telah mengenal dan menggunakan penanggalan, Disebut kalender Qamariyah yang penetapannya diatur berdasarkan fase-fase peredaran bulan. Mereka sepakat tanggal 1 ditandai dengan kehadiran hilal. Mereka juga menetapkan nama bulan sebagaimana yang kita kenal.
Mereka mengenal bulan Dzulhijah sebagai bulan haji, mereka juga kenal bulan Rajab, Ramadhan, Syawal, Safar, dan bulan-bulan lainnya. Bahkan mereka juga menetapkan adanya 4 bulan suci: Dzulqa’dah, Dzulhijah, Shafar Awal (Muharam), dan Rajab. Selama 4 bulan suci ini, mereka sama sekali tidak boleh melakukan peperangan.
Kalender Hijriyah adalah penanggalan rabani yang menjadi acuan dalam hukum-hukum Islam. Seperti haji, puasa, haul zakat, 'idah, thalaq dan lain sebagainya. Dengan menjadikan hilal sebagai acuan awal bulan. Sebagaimana disinggung dalam firman Allah Ta’ala dalam Surat Al-Baqarah 189;
.
"Orang-orang bertanya kepadamu tentang hilal. Wahai Muhammad katakanlah: "Hilal itu adalah tanda waktu untuk kepentingan manusia dan badi haji."(QS. Al-Baqarah: 189)
Sebelum penanggalan hijriyah ditetapkan, masyarakat Arab dahulu menjadikan peristiwa-peristiwa besar sebagai acuan tahun.
Sebagai contoh, tahun renovasi Ka'bah misalnya, karena pada tahun tersebut, Ka’bah direnovasi ulang akibat banjir. Tahun fijar, karena saat itu terjadi perang fijar. Tahun Fiil (gajah), karena saat itu terjadi penyerbuan Ka’bah oleh pasukan bergajah. Oleh karena itu kita mengenal tahun kelahiran Rasulullah dengan istilah tahun Fiil (tahun gajah). Terkadang mereka juga menggunakan tahun kematian seorang tokoh sebagai patokan, misalnya 7 tahun sepeninggal Ka'ab bin Luai."
Sistem penanggalan seperti ini terus berlangsung sampai pada zaman Rasulullah dan Khalifah Abu Bakar. Kala itu, para sahabat belum memiliki acuan tahun. Acuan yang mereka gunakan untuk menamakan tahun adalah peristiwa besar yang terjadi di masa itu, seperti :
Tahun izin (sanatul idzni), karena ketika itu kaum muslimin diizinkan Allah untuk berhijrah ke Madinah. Tahun perintah (sanatul amri), karena mereka mendapat perintah untuk memerangi orang musyrik. Tahun tamhish, artinya ampunan dosa. Di tahun ini Allah menurunkan firmanNya, ayat 141 surat Ali Imran, yang menjelaskan bahwa Allah mengampuni kesalahan para sahabat ketika Perang Uhud. Tahun zilzal (ujian berat). Ketika itu, kaum muslimin menghadapi berbagai cobaan ekonomi, keamanan, krisis pangan, karena perang khandaq dan seterusnya.
Gagasan dari Sepucuk Surat
Berawal dari surat-surat tak bertanggal, yang diterima Abu Musa Al-Asy-‘Ari radhiyahullahu’anhu; sebagai Gubernur Basrah kala itu, dari Khalifah Umar bin Khatab. Melalui sepucuk surat, Abu Musa mengeluhkan surat-surat tersebut kepada Khalifah,
"Telah sampai kepada kami surat-surat dari Anda, tanpa tanggal."
Dalam riwayat lain disebutkan,
"Telah sampai kepada kami surat-surat dari Amirul Mukminin, namun kami tidak mengetahui apa yang harus kami perbuat terhadap surat-surat itu. Kami telah membaca salah satu surat yang dikirimkan pada bulan Sya’ban. Kami tidak tahu apakah Sya’ban tahun ini ataukah tahun kemarin.”
Karena kejadian inilah kemudian Umar bin Khatab mengajak para sahabat untuk bermusyawarah; menentukan kalender yang nantinya menjadi acuan penanggalan bagi kaum muslimin.
Awal Tahun Hijriyah Ditetapkan
Dalam musyawarah Khalifah Umar bin Khatab dan para sahabat, muncul beberapa usulan mengenai patokan awal tahun.
Ada yang mengusulkan penanggalan dimulai dari tahun diangkatnya Rasulullah sebagai utusan Alllah. Sebagian lagi mengusulkan agar penanggalan dibuat sesuai dengan kalender Romawi, yang mana mereka memulai hitungan penanggalan dari masa raja Iskandar (Alexander).
Sementara yang lain mengusulkan, dimulai dari tahun hijrahnya Rasulullah ke kota Madinah. Usulan ini disampaikan oleh sahabat Ali bin Abi Thalib. Hati Umar bin Khatab ternyata condong kepada usulan ke dua ini.
"Peristiwa Hijrah menjadi pemisah antara yang hak dan yang batil. Jadikanlah ia sebagai patokan penanggalan.” kata Umar bin Khatab radhiyallahu’anhu mengutarakan alasan.
Akhirnya para sahabat pun sepakat untuk menjadikan peristiwa hijrah sebagai acuan tahun. Landasan mereka adalah firman Allah Ta’ala,
"Sesungguhnya masjid yang didirikan atas dasar taqwa (masjid Quba), sejak hari pertama adalah lebih patut kamu shalat di dalamnya." (QS. At-Taubah:108)
Para sahabat memahami makna "sejak hari pertama" dalam ayat, adalah hari pertama kedatangan hijrahnya Nabi, sehingga pantaslah moment itu dijadikan acuan awal tahun kalender hijriyah.
Al Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahillah dalam Fathul Bari mengatakan, "Pelajaran dari As-Suhaili: para sahabat sepakat menjadikan peristiwa hijrah sebagai patokan penanggalan, karena merujuk kepada firman Allah ta’ala dalam Surat At-Taubah ayat 108 tersebut.
Sudah suatu hal yang dimaklumi; maksud hari pertama (dalam ayat ini) bukan berarti tidak menunjuk pada hari tertentu. Tampak jelas ia dinisbatkan pada sesuatu yang tidak tersebut dalam ayat.
Yaitu hari pertama kemuliaan Islam. Hari pertama Rasulullah bisa menyembah Rab-nya dengan perasaan aman. Hari pertama dibangunnya masjid pertama dalam peradaban Islam, yaitu masjid Quba. Karena alasan inilah, para sahabat sepakat untuk menjadikan hari tersebut sebagai patokan penanggalan.
Dari keputusan para sahabat tersebut, dapat dipahami maksud kata "sejak hari pertama" (dalam ayat) adalah hari pertama dimulainya Penanggalan Islam. Demikian kata beliau. Dan telah diketahui bahwa makna firman Allah Ta’ala: min awwali yaumin (sejak hari pertama) adalah, hari pertama masuknya Rasulullah dan para sahabatnya ke kota Madinah. Allahua’lam. (Fathul Bari, 7/335)
Sebenarnya ada beberapa alternatif lain mengenai acuan tahun, yaitu tahun kelahiran atau wafatnya Rasulullah. Namun mengapa dua hal ini tidak dijadikan pilihan? Ibnu Hajar rahimahullah menjelaskan alasannya,”
"Karena tahun kelahiran dan tahun diutusnya beliau menjadi Nabi, belum diketahui secara pasti. Adapun tahun wafat beliau, para sahabat tidak memilihnya karena akan menyebabkan kesedihan manakala teringat tahun itu. Oleh karena itu ditetapkan peristiwa hijrah sebagai acuan tahun.” (Fathul Bari, 7/335)
Alasan lain mengapa tidak menjadikan tahun kelahiran Rasulullah sebagai acuan; karena dalam hal tersebut terdapat unsur menyerupai kalender kaum Nasrani. Yang mana mereka menjadikan tahun kelahiran Nabi Isa sebagai acuan.
Dan tidak menjadikan tahun wafatnya Rasulullah sebagai acuan, karena dalam hal tersebut terdapat unsur tasyabuh dengan orang Persia (majusi). Mereka menjadikan tahun kematian raja mereka sebagai acuan penanggalan.
Ijma' dalam Penentuan Bulan
Musyawarah dilanjutkan untuk menentukan awal bulan kalender hijriyah. Sebagian sahabat mengusulkan bulan Ramadhan. Sahabat Umar bin Khatab dan Ustman bin Affan mengusulkan bulan Muharram.
Utsman bin Affan mengusulkan agar bulan pertama dalam kalender Hijriah adalah Muharam dengan beberapa alasan:
Pertama, Muharam merupakan bulan pertama dalam kalender masyarakat Arab di masa masa silam. Kedua, di bulan Muharam, kaum muslimin baru saja menyelesaikan ibadah yang besar yaitu haji ke baitullah. Ketiga, adalah awal munculnya tekad untuk hijrah terjadi di bulan Muharam. Karena pada bulan sebelumnya, Dzulhijah, beberapa masyarakat Madinah melakukan Baiat Aqabah yang kedua kalinya.
Umar bin Khatab mengatakan, "Sebaiknya dimulai bulan Muharam. Karena pada bulan itu orang-orang usai melakukan ibadah haji.”
Akhirnya para sahabat pun menyepakati. Alasan lain dipilihnya Bulan Muharam sebagai awal bulan diutarakan oleh Ibnu Hajar rahimahullah,
"Karena tekad untuk melakukan hijrah terjadi pada bulan Muharam. Dimana bai'at terjadi dipertengahan bulan Dzulhijah (bulan sebelum Muharam). Dari peristiwa bai'at itulah awal mula hijrah. Bisa dikatakan hilal pertama setelah peristiwa bai’at adalah hilal bulan muharam, serta tekad untuk berhijrah juga terjadi pada hilal bulan Muharam. Karena inilah muharam layak dijadikan awal bulan. Ini alasan paling kuat mengapa dipilih bulan muharam." (Fathul Bari, 7/335)
Dari hasil musyawarah tersebut, ditentukanlah sistem penanggalan Islam, yang berlaku hingga hari ini. Dengan menjadikan peristiwa Hijrah sebagai acuan tahun 1 Hijriyah dan bulan Muharam sebagai awal bulan. Oleh karena itu kalender ini dikenal dengan Kalender Hijriyah.
Terdapat beberapa pelajaran yang bisa dipetik dari kisah penanggalan hijriyah di atas. Kalender Hijriyah ditetapkan berdasarkan ijma’ (kesepakatan) para sahabat. Dan umat Muslim tahu bahwa ijma' merupakan dalil qot'i yang diakui dalam Islam.
Para sahabat menjadikan Kalender Hijriyah sebagai acuan penanggalan dalam segala urusan kehidupan mereka; baik urusan ibadah maupun dunia. Sehingga memisahkan penggunaan Kalender Hijriyah, antara urusan ibadah dan urusan dunia, adalah tindakan yang tidak menyepakati konsesus para sahabat Rasulullah.
Seyogyanya bagi seorang muslim, menjadikan kalender Hijriyah sebagai acuan penanggalan dalam kehidupan sehari-hari, menjadi bagian dari Syi’ar Islam, yang khas dan membedakannya dengan agama lainnya.
jumrahonline