Top Ad 970x90

Umar pun 'Terpaku' Mendengar Nasehatnya

by
Khalifah Umar pun Terpaku Mendengar Nasehatnya
Imam Al Qurthubi menceritakan bahwa suatu hari kala Umar bin Khattab Radhiyallahu'anhu masih menjabat sebagai Khalifah, tanpa sengaja ia berjumpa dengan seorang wanita tua di jalan. Saat itu, sang Khalifah sedang menunggang kuda diiringi banyak orang yang juga menunggang kuda.

Dalam pertemuan saat itu, nenek itu memanggilnya dan memintanya berhenti, dan Umar pun berhenti. Lalu ia bercakap dan menasihati Umar lama sekali.

Kepada Umar ia mengatakan, "Hai Umar, dulu kau dipanggil Umair (Umar kecil), lalu engkau dipanggil Umar, dan kemudian engkau dipanggil Amirul Mukminin, maka bertaqwalah engkau, wahai Umar. Karena barang siapa yang meyakini adanya kematian, ia akan takut kehilangan kesempatan. Dan barang siapa yang meyakini adanya perhitungan (amal), maka ia pasti takut kepada siksa."


Umar bin Khattab berdiri terpaku cukup lama menyimak nasihatnya itu. Hingga setelah beberapa waktu, ada seorang yang bertanya kepada Umar, "Wahai Amirul Mukminin, mengapa engkau mau berdiri seperti itu untuk mendengarkan wanita tua renta ini?"

Umar pun menjawab, "Demi Allah, kalau sekiranya beliau menahanku dari permulaan siang hingga siang ini berakhir, aku tidak akan bergeser kecuali untuk shalat fardhu. Tahukah kalian siapa perempuan renta ini?"

"Dia adalah Khawlah binti Tsalabah. Allah Ta'ala mendengar perkataannya dari atas tujuh lapis langit. Apakah Tuhan semesta alam mendengarkan ucapannya, tetapi lantas Umar tidak mendengarkannya?"

Khawlah binti Tsa’labah bin Ashram, demikian nama wanita itu. Ia berasal dari kaum Anshar. Do'a dan gugatannya itu didengar oleh Allah Ta'ala hingga menjadi sebab turunnya Surat Mujadalah ayat 1-4. 


Kisah ini tidak hanya menunjukkan kemuliaan Khaulah, perempuan tua itu, melainkan juga keindahan adab Umar, sang Khalifah yang sangat santun.

jumrahonline | jumrah.com

Mengapa Slogan "Kembali Ke Alquran dan As Sunnah", Dinilai Berbahaya?

by
Mengapa Slogan "Kembali Ke Alquran dan As Sunnah", Dinilai Berbahaya?
Slogan "Kembali kepada Al-Quran dan Sunnah" sekarang ini memang sedang booming dimana-mana. Setiap kita bertemu dengan para punggawa-punggawa dakwah dari kalangan tertentu, pastilah kita dapati slogan ini.

Dengan bantuan media sosial yang masiv membuat slogan ini makin banyak dikenal dan dikatakan terus berulang karena memang maksudnya bagus. Ya memang seorang muslim wajib hukumnya untuk dia kembali kepada kitab pedomannya, yaitu Al-Quran dan juga tuntunan panutannya yaitu Hadits-hadits Nabi Muhammad saw. (Simak juga : "Ikut Imam Asy Syafi'i atau Rasulullah? Ini Jawabannya.")

Tapi banyak kalangan umat Muslim menilai riskan dan khawatir dengan slogan ini (bukan tidak setuju) tapi ada hal lain yang rasanya urgen sekali untuk diluruskan dari slogan tersebut. Dikhawatirkan terjadi kesalahpahaman dari slogan itu kalau memang dipahami begitu saja secara asal-asalan, karena itu perlu ada pembahasan beberapa poin penting dari slogan tersebut.

Dalam beribadah memang kita dituntut dan diharuskan untuk mengikuti apa yang sudah digariskan oleh Allah swt dalam Al-Quran dan apa yang sudah dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw melalui riwayat-riwayatnya. Benar, tidak ada selain itu.

Akan tetapi akan terjadi ketimpangan dan kebingungan dalam masyarakat yang plural bilamana hanya langsung kembali ke Al-Quran dan Sunnah Nabi saw. Kapasitas kemampuan orang itu berbeda-beda antara satu dan yang lainnya, tidak bisa disama-ratakan. Kalau dengan kemampuan pemahaman yang terbatas, kemudian seseorang dipaksa untuk beribadah sesuai Al-Quran dan Sunnah versi pemahamannya sendiri, tentu akan berpotensi terjadi kekacauan syariah. Sebagai contoh:

Shalat Boleh Menghadap Kemana Saja

 
Orang yang melaksanakan shalat dan menghadap bukan ke kiblat, akan tetapi menghadap kearah selain kiblat, shalatnya tetap sah jika diukur dari slogan “Kembali kepada Al-Quran dan Sunnah” itu. Toh memang di Al-Quran disebutkan begitu,
.
وَلِلَّهِ الْمَشْرِقُ وَالْمَغْرِبُ فَأَيْنَمَا تُوَلُّوا فَثَمَّ وَجْهُ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ وَاسِعٌ عَلِيمٌ


"Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, Maka kemanapun kamu menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha mengetahui” (Al-Baqarah 115)
 

Padahal sejatinya sholat punya aturan dan tuntunan yang memang sudah baku, sesuai apa yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw.

Orang Non-Muslim Najis, Maka Jauhi

 
Kalau dengan slogan itu juga, maka menjadi benar jika ada seorang muslim yang tidak mau bergaul dan berbaur dengan saudara-saudaranya yang non-muslim, karena memang orang non-muslim itu najis. Sebagaimana firman Allah swt:
.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِنَّمَا الْمُشْرِكُونَ نَجَسٌ فَلَا يَقْرَبُوا الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ بَعْدَ عَامِهِمْ هَذَا


“Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya orang-orang yang musyrik itu najis, Maka janganlah mereka mendekati Masjidilharam sesudah tahun ini” (At-Taubah 28)

Padahal sama sekali tidak ada satu pun pendapat dari 4 madzhab Fiqih yang mengatakan bahwa orang non-muslim itu najis. Semua bersepakat bahawa najis yang dimaksud diayat ialah najis secara makna bukan secara zahir.

Dan juga tidak ada dari para Imam tersebut yang mengharamkan kita untuk berbaur, bersalaman, atau bahkan memeluk saudara kita yang non-muslim. Dan juga kita dibolehkan berkongsi makan dan minum dengan mereka dalam satu wadah selama itu bukan makanan atau minuman yang diharamkan dalam syariah.

Buang Air Menghadap Kiblat

Dan pasti seseorang akan kebingungan jika dia langsung kembali kepada Hadits, lalu menemukan hadits yang melarangnya untuk membuang air dengan menghadap atau membelakangi kiblat. Seperti yang dijelaskan oleh Nabi saw dari sahabat Abu Ayyub Al-Anshori:
.
إِذَا أَتَيْتُمْ الْغَائِطَ فَلَا تَسْتَقْبِلُوا الْقِبْلَةَ بِغَائِطٍ وَلَا بَوْلٍ وَلَا تَسْتَدْبِرُوهَا وَلَكِنْ شَرِّقُوا أَوْ غَرِّبُوا


“Jika kalian masuk toilet, janganlah kalian menghadap ke kiblat ketika buang air besar atau kecil, dan jangan juga membelaknginya. Akan tetapi menghadaplah ke timur atau ke barat”(HR Tirmidzi)

Loh bagaimana ini? Dilarang menghadap kiblat dan juga dilarang membelakanginya, akan tetapi menghadap barat atau ke timur. Bagaimana bisa? Toh di Indonesia kalau kita menghadap timur, itu berarti membelakangi kiblat, kalau ke barat justru kita menghadap kiblat. Lalu menghadapmana mestinya kita jika buang air?

Kalau hanya semangat “Kembali ke Al-Quran dan Sunnah”, itu tidak akan menyelesaikan masalah sama sekali. kita akan mentok dan akhirnya bingung sendiri.

Pojokkan Mereka Ke Jalan Yang Sempit

Saya akan lebih takut jikalau ada seorang yang dengan semangat “Kembali ke Al-Quran dan Sunnah”, kemudian tanpa guru ia membuka kitab hadits, lalu menemukan hadits ini:
.
لَا تَبْدَءُوا الْيَهُودَ وَلَا النَّصَارَى بِالسَّلَامِ فَإِذَا لَقِيتُمْ أَحَدَهُمْ فِي طَرِيقٍفَاضْطَرُّوهُ إِلَى أَضْيَقِهِ


“Janganlah kalian memulai memberi salam kepada orang Yahudi dan Nashrani. Dan jika kalian bertemu mereka di jalan, pojokkan mereka ke jalan yang sempit (jangan beri jalan)”(HR Muslim)

Haditsnya shahih, riwayat Imam Muslim pula, siapa yang berani mengatakan kalau ini hadits dhoif? Redaksinya jelas, tidak ada bias bahwa kalau bertemu dengan orang Yahudi dan Nashrani di jalan, jangan beri mereka jalan. Pojokkan mereka samapi tidak ada jalan bagi mereka untuk meneruskan jalannya.

Bayangkan bagaimana jika ada orang yang dengan semangat “kembali ke Al-Quran dan Sunnah” yang menggebu-gebu mendapati hadits initanpa bimbingan seorang guru? Apa yang sekiranya ia lakukan setelah mendapatkan hadits tersebut? Yang terjadi pasti kekacauan social diantara masyarakat.

Kembali ke Ulama


Apa yang diurai diatas dari kasus-kasus tersebut hanyalah beberapa contoh bahwa kita khusunya yang memang awam akan agama tidak bisa serta merta langsung menceburkan diri dalam lautan ayat dan hadits yang punya kedalaman makna.

Kita akan sulit sekali nantinya jika hanya mengandalkan semangat “Kambali ke Al-Quran dan Sunnah” tanpa ada bimbingan mereka yang memang mengerti betul tentang syariah. Dan rasanya slogan “Kembali ke Al-Quran dan Sunnah” itu juga mesti diluruskan.

Redaksi kalimatnya berubah menjadi “Kembali ke Ulama”. Karena sejatinya kembali kepada ulama itu juga kembali kepada Al-Quran dan sunnah yang sesungguhnya. Kita tidak bisa dengan gampang memahami teks ayat dan hadits tanpa bimbingan dan tuntunan mereka yang memang mengerti.

Dan kepada siapa kita harus meminta bimbingan untuk bisa memahami maksud ayat dan hadits kecuali kepada ulama? Dengan keilmuannya kita dibantu untuk lurus dalam beribadah karena mereka punya kapasitas dan kemampuan yang Allah swt berikan kepada mereka untuk mengetahu maksud dan makna ayat serta hadits.
.
فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ


"Bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.” (QS. An Nahl: 43).

Jadi satu-satunya jalan ialah mengikuti mereka kalau memang kita tidak tahu. Karena ayat Al-Quran dan hadits-hadits Nabi itu bukanlah seperti teks bahasa arab biasa yang jika sudah ditemukan terjemahannya maka langsung bisa dipahami. Tidak begitu!

Kalau memang bisa dengan bebas dipahami, lalu buat apa sejak 13 abad yang lalu para ulama bersusah payah mengerahkan pemikiran dan tenaga dalam menulis kitab-kitab Tafsir Quran dan juga kitab-kitab syarah (penjelasan) hadits.

Coba kita lihat ke belakang, sudah berapa banyak kitab tafsir dan kitab syarah hadits yang sudah dikarang oleh para ulama kita. Bahkan jumlahnya ada yang melampaui angka umur si penulis itu sendiri. Kalau memang semua bisa paham, kenapa harus ada itu semua?

Jadi perkara “kembali ke Al-Quran dan Sunnah”, bukan perkara yang asal saja, yang semua orang bisa melaksanakan. Tidak cukup seorang mengatakan: “Cukuplah bagiku Al-Quran dan Hadits”, dan dia tidak mengetahui lewat jalur mana ia memahami maksud dan makna ayat serta hadist tersebut. Dan bagaimana pula ia bisa mengambil kesimpulan hukum dari ayat dan hadits tanpa merujuk kepada pendapat ulama?

Kita seharusnya sadar bagaimana usaha serta perjuangan para imam mujtahd serta ulama-ulama tredahulu dalam menyampaikan pemahaman yang lurus tentang Al-Quran dan sunnah kepada kita semua. Mereka hidupkan malam-malamnya dan mereka habiskan siangnya dengan mencari dan meneliti guna mencapai sebuah pemahaman yang benar.

kalau dikatakan: “Ulama itu juga kan manusia, bisa salah. Jadi kita kembali saja kepada Al-Quran dan sunnah”. Kalau ulama saja bisa salah, lalu siapa anda dengan pongah mengatakan pendapat anda yang paling benar. Justru kemungkinan anda untuk salah memahami maksud ayat dan hadits sangat besar sekali karena anda juga manusia biasa.

Bahkan taraf keilmuan anda sangat jauh jika dibandingkan dengan ulama yang anda diskreditkan kapastitasnya sebagai ulama.

Wallahu A’lam

jumrahonline | jumrah.com

Sumber : Rumahfiqih.com

Ikut Imam Syafi'i atau Ikut Rasulullah SAW? Ini Jawabannya

by
Mengikuti Imam Syafi'i atau Rasulullah? Ini Jawabannya
Diantara ciri khas Ahlussunnah Wal Jama’ah adalah mengikuti pola bermadzhab dalam amaliah sehari-hari terhadap salah satu madzhab fiqih yang empat, yaitu madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali.

Bahkan menurut al-Imam Syah Waliyullah al-Dahlawi (1110-1176 H/1699-1762 M), pola bermadzhab terhadap suatu madzhab tertentu secara penuh telah dilakukan oleh mayoritas kaum Muslimin sejak generasi salaf yang saleh, yaitu sejak abad ketiga Hijriah. (Simak juga: Mengapa Slogan "Kembalikan Semuanya ke Alqur'an dan As Sunnah" Dinilai Berbahaya?)

Karenanya, sulit kita temukan nama seorang ulama besar yang hidup sejak abad ketiga hingga saat ini yang tidak mengikuti salah satu madzhab fiqih yang ada.

Belakangan setelah lahirnya gerakan Wahhabi di Najd Saudi Arabia, lahir pula gerakan anti madzhab yang mengajak kaum Muslimin agar menanggalkan baju bermadzhab dan kembali kepada "ajaran al-Qur’an dan Sunnah". Karena menurut mereka, para imam madzhab sendiri seperti Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam al-Syafi’i dan Ahmad bin Hanbal, lebih mendahulukan hadits shahih daripada hasil ijtihad.

Bukankah semua Imam madzhab pernah menyatakan, "idza shahha al-hadits fahuwa madzhabi (apabila suatu hadits itu shahih, maka itulah madzhabku)".

Sudah barang tentu ajakan menanggalkan pola bermadzhab dan kembali kepada al-Qur’an dan Hadits adalah tidak tepat, karena secara tidak langsung ajakan tersebut beranggapan bahwa para imam madzhab dan para ulama yang bermadzhab telah keluar dari al-Qur’an dan hadits. Anggapan semacam ini jelas tidak benar, karena semua madzhab fiqih yang ada berangkatnya dari ijtihad para imam mujtahid, sang pendiri madzhab.

Sedangkan ijtihad mereka jelas dibangun di atas pondasi al-Qur’an dan Sunnah. Seorang ulama baru dibolehkan berijtihad, apabila telah memenuhi persyaratan sebagai mujtahid, yang antara lain menguasai kandungan al-Qur’an dan Sunnah sebagai landasan ijtihadnya.

Kita juga sering mendengar pernyataan kalangan anti madzhab yang mengatakan, "mengapa Anda mengikuti Imam al-Syafi’i, kenapa tidak mengikuti Rasulullah saja...", atau "siapa yang lebih alim, Rasulullah atau Imam al-Syafi'i?" Tentu saja pertanyaan tersebut sungguh tidak ilmiah, dan menjadi bukti bahwa kalangan anti madzhab memang tidak memahami al-Qur’an dan ilmu ushul fiqih.

Ketika seseorang itu mengikuti Imam al-Syafi'i, hal itu bukan berarti dia meninggalkan Rasulullah. Karena bagaimana pun Imam al-Syafi'i itu tidak sebanding dengan kedudukan Rasulullah. 


Para ulama yang mengikuti madzhab al-Syafi’i seperti Imam al-Bukhari, al-Hakim, al-Daraquthni, al-Baihaqi, al-Nawawi, Ibn Hajar dan lain-lain, berkeyakinan bahwa Imam al-Syafi’i lebih mengerti dari pada mereka terhadap makna-makna al-Qur’an dan hadits Rasulullah secara menyeluruh.

Ketika mereka mengikuti al-Syafi'i, bukan berarti meninggalkan al-Qur’an dan Sunnah. Akan tetapi mengikuti al-Qur'an dan Sunnah sesuai dengan pemahaman orang yang lebih memahami, yaitu Imam al-Syafi'i.

Hal ini dapat dianalogikan dengan ketika para ulama mengikuti perintah al-Qur’an tentang hukum potong tangan bagi para pencuri. Dalam al-Qur’an tidak dijelaskan, sampai di mana batasan tangan pencuri yang harus dipotong? Apakah sampai lengan, sikut atau bahu? Ternyata Rasulullah menjelaskan sampai pergelangan tangan.

Ketika kita menerapkan hukum potong tangan dari bagian pergelangan tangan, bukan berarti kita mengikuti Rasulullah dan meninggalkan al-Qur’an. Akan tetapi kita mengikuti al-Qur’an sesuai dengan penjelasan Rasulullah yang memang diberi tugas oleh Allah SWT sebagai mubayyin, penjelas isi-isi al-Qur’an. (QS. al-Nahl : 44 dan 64).

Al-Qur'an al-Karim sendiri mengajarkan kita untuk taqlid dan bermadzhab kepada ulama. "Bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui."

Dalam ayat di atas, Allah SWT memerintahkan orang yang tidak tahu agar bertanya kepada para ulama. Allah SWT tidak memerintahnya agar membolak-balik terjemahan al-Qur’an atau kitab-kitab hadits sebagaimana yang dilakukan golongan anti madzhab.


jumrahonline | jumrah.com
sumber : santri.net

Merindu Keluarga di Syurga

by
Merindu Keluarga di Syurga
Tiada kebahagiaan yang paling berbunga, kecuali sebuah pertemuan dengan mereka yang kita kasihi. Setelah jarak waktu penantian dan pengembaraan di rimba dunia fana ini; akhirnya mereka berjumpa dalam pertemuan akbar di surga Adnin. Para malaikat mengembangkan sayapnya mengiringi pertemuan mereka, seraya berdendang melagukan sonata doa dan mengucapkan salam sejahtera kepada para penghuninya.

Surga Adnin tempat di mana mereka masuk ke dalamnya bersama orang-orang saleh dari bapak-bapak mereka, istri-istri mereka, dan keturunan mereka, sedang malaikat-malaikat masuk ke tempat-tempat mereka dari setiap pintu, seraya mengucapkan salamun ealaikum, kedamai an bagi kamu dengan kesabaran kamu, maka inilah sebaik-baik tempat kesudahan. (QS ar-Ra'du [13]: 23-24).

Dan, salah satu kunci untuk memasuki surga itu, dijelaskan pada ayat sebelumnya yaitu mereka yang memenuhi janji, yang menyambung tali silaturahim, takut dengan seburuk- buruk perhitungan, dan sabar.


Sedangkan kunci lain yang akan membuka pintu-pintu surga terletak dalam keluhuran akhlak serta rasa hormatnya yang penuh dengan ihsan (excellent) kepada kedua orang tua, utamanya ibu.


Benarlah apa yang disabdakan Rasulullah SAW, Ada tiga doa yang pasti dikabulkan dan tidak diragukan lagi, yakni doa orang yang teraniaya, doa orang bepergian, dan doa orang tua bagi anaknya. (HR Al-Bukhari ). Tidak ada kebahagiaan yang paling berbinar, kecuali kita memiliki anak yang saleh, santun kepada orang tua, dan gemar mendoakan. Karena doa anak yang saleh, tidak ada penghalangnya kecuali dikabulkan Allah.

Rasulullah bersabda, Diangkat derajat seseorang setelah matinya. Dia pun bertanya, Wahai Tuhanku, mengapa engkau angkat derajatku? Allah berfirman; Anakmu memohon ampunan untukmu. (HR al-Bukhari).

Begitu dahsyatnya kekuatan doa anak yang saleh sehingga dapat mengubah kedudukan orang tuanya yang telah meninggal. Bahkan, Ibnu Abbas meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda, Ketika seseorang masuk surga ia menanyakan orang tua, istri, dan anak-anaknya. Lalu Allah berkata kepadanya, Mereka tidak mencapai derajat amalmu. Kemudian, orang itu berkata, Ya Rabbi, aku beramal bagiku dan keluargaku. Kemudian, Allah memerintahkan untuk menyusulkan keluarganya ke surga. (HR Thabrani).

Para orang tua beserta seluruh penghuni yang berada di bawah atap rumahnya, merasakan bahwa mereka adalah satu jamaah yang kelak akan melakukan pertemuan akbar di surga. Seluruh keluarga merindukan pertemuan ulang di alam baka dan menjadi penghuni surga Adnin.

Sehingga, seseorang yang sudah berumur 40 tahun sangat dianjurkan agar senantiasa berdoa, sebagaimana doa yang difirmankan Allah: Ya Tuhanku, jadikan hamba mampu bersyukur atas nikmat yang Engkau berikan serta bersyukur kepada kedua orang tuaku, dan untuk menunaikan amal saleh yang Engkau ridai, dan berikanlah kebaikan padaku dan keturunanku. (QS al-Ahqaf [46]: 15). 


Semoga kita dapat berkumpul untuk reuni di surga Adnin.

Ditulis oleh Ustadz Toto Tasmara, republika.co.id

Inilah Nur dalam Konteks Spiritual

by
Inilah Nur (Cahaya) dalam Konteks Spiritual
Nur atau cahaya itu ialah sesuatu yang menyebabkan kita melihat dengan jelas pada sesuatu, baik menggunakan mata kepala atau mata hati. Dalam logika kita, ini hampir serupa dengan signal (jaringan) dalam konteks spiritual yang diberikan kepada manusia sehingga ia bisa melihat (merasakan dengan hati) menerima suatu petunjuk atau hidayah dari pada Allah Ta'ala

Allah berfirman dalam Qur'an, Surat An Nur:

"Allah (pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya-Nya adalah seperti sebuah lubang besar yang tidak tembus, yang di dalamnya ada pelita. Pelita itu di dalam kaca dan kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara yang dinyalakan dari pohon yang banyak berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tidak tumbuh di sebelah Timur (sesuatu) dan tidak (pula) tumbuh di sebelah Barat. Yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang dikehendaki dan Allah membuat perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu." (Surah An Nur Ayat 35)

Nur memiliki makna,yaitu:

1. Nur Lahir (Hissi)
yaitu cahaya membantu kita melihat sesuatu dengan mata kepala kita seperti cahaya matahari yang memberi kita cahaya terang dikala siang.

2. Nur Batin (Ma’nawi) yaitu cahaya membantu kita melihat dengan mata hati terhadap sesuatu yang ghaib atau memahami suatu hakikat atau sebuah pengertian.

Nur Batin ini terbagi dalam delapan jenis, yaitu:
 

Nur Al-Iman, cahaya keimanan iaiti cahaya sejati yang dapat menembusi segala kegelapan dimana akan ternyata keagungan dan keesaan Allah s.w.t menyinari hati insan.

Nur Al-Qalb, cahaya hati yaitu cahaya yang wujud dengan sempurna dengan memperoleh sinaran cahaya daripada nur Al-Iman.

Nur Ar-Ruh, cahaya Ruh (jiwa) yaitu cahaya yang diperoleh dengan sebab kepatuhan yang sungguh-sungguh kepada Allah dan menyucikan pribadi dari perlakuan liar yang merugikan sehingga ruhnya dapat berhubung dengan alam malaikat.

Nur An-Nafs, cahaya pribadi yang wujud dengan sempurna berikutan dengan memperoleh sinaran dari pada Nur Ar-Ruh.

Nur As-Sirr, cahaya rahasia yang diperoleh dengan mengenal Allah dengan sebenar-benar pengenalan yang diikuti dengan hubungan kepada Maha Pencipta tanpa selainNya sehingga dapat menyaksikan keajaiban kebesaran Ilahi di Alam Malakut dan Alam Mulk dan Syahada.

Nur Al-Aql, cahaya akal yang wujud dengan sempurna dengan memperoleh sinaran cahaya daripada Nur As-Sirr.
 

Nur Al-Qur’an, cahaya Qur’an yang merupakan Nur Allah s.w.t. yang berhubung rapat dengan DzatNya Yang Maha Tinggi. Hakikat Nur ini adalah diserahkan kepada Allah.Cuma diketahui bahwa nur inilah yang menimbulkan Nur As-Sirr dan nur yang lain.

Nur Al-kasyaf, cahaya penyingkapan yaitu Nur Al-Qur’an yang merupakan nur yang paling tinggi dan memberi kesan yang istimewa. Nur ini dapat menggilapkan cermin hati para insan dengan membaca ayat-ayat suci, dzikrullah (takbir, tahmid, tasbih, taqdis dan lain-lain); juga dengan memakan makanan yang halal, berlaku ikhlas, berpuasa meninggalkan sesuatu yang dilarang oleh Allah, senantiasa membersihkan diri dan pribadi dengan mengekalkan wudhu’ dan menjaga segala waktu untuk ketaatan dan berbakti kepada Allah Ta'ala.

Dalam Al Qur'an
Allah berfirman :

"Wahai manusia,sungguhnya telah datang kepadamu bukti kebenaran dari tuhanmu (nabi Muhammad dan mujizatnya); dan kami telah menurunkan kepadamu satu cahaya (Al-Qur’an) yang terang benderang." (Surah An-Nisaa’ Ayat 174)


Menurut golongan Sufi bahwa nur ini memungkinkan mengangkat pandangan kepada ‘Arasy dan Kursi dan menyaksikan segala nur-nur yang indah hingga terbuka segala rahasia-rahasia alam dan bermacam-macam rupa alam ghaib

Nur inilah yang menyelubungi pribadi Rasulullah SAW sehingga beliau dapat memandang atau mengetahui sesuatu dengan izin Allah. Dikala beliau pulang dari pengembaraan Isra’ dan Mi’raj, orang-orang kafir mengerumuni beliau bagi menguji kebenaran pelajarannya.
 

Mereka menanyakan sifat-sifat masjid Al-Aqsa dengan detail;tetapi pertanyaan itu dapat dijawab oleh nabi dengan tepat sehingga segolongan manusia merasa heran dan kagum lalu mempercayai kebenaran nabi s.a.w.

Nur inilah yang membukakan pandangan kepada Khalifah Umar b.Al-Khattaab yang berada di kota Madinah dapat melihat daerah Nahawand dan melihat panglima dan tentara-tentara Islam yang sedang berjuang menyerang tentara-tentara Persi dibawah raja Yazdajird III dimana beliau mengeluarkan perintah menggempur musuh dengan hebat.

Suara umar didengar pula oleh panglima Hudzaifah Al-Yaman sehingga beliau berjaya menumpaskan mereka.

Pada suatu masa ditanyakan Rasulullah dengan pertanyaan: "Apakah Nur itu?"

Beliau menjawab: "Apabila nur itu memasuki hati maka lega dan lapanglah hati itu."

Kemudian ditanyakan lagi: "Bagaimanakah tandanya?"

Sabdanya: "Hati itu tidak lupakan perkembaliannya ke Darul Khuld (negeri Akhirat) Dia tidaklah bermasyghul (terlena) dengan keduniaan karena dunia ini adalah tempat permainan (dan Percobaan).Hati itu selalu mengingati kematian sebelum tibanya kematian itu."

Abdullah  Mas’ud pernah berkata: "Ilmu itu diperoleh bukanlah karena semata-mata banyak riwayat (sumber biasa), tetapi dia hanya diperoleh dengan nur yang disampaikan Allah ke dalam hati seseorang.

Allah berfirman dalam Qur'an, Surat Al Qashash:


"Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mahu menerima petunjuk."( Surah al-Qashash Ayat 56)


jumrahonline | jumrah.com

Azazil, Kekasih Allah Di Masa Itu...

by
Azazil, Kekasih Allah Di Masa Itu...
Adalah Azazil, yang beribadah kepada Allah Ta'ala selama ribuan tahun. Dari Hasan Al-Bashri, "Azazil beribadah di tujuh lapisan langit hingga lebih dari 70.000 tahun, sampai ia diangkat ke Maqam Ridwan (Malaikat Ridwan AS), ialah maqam yang sangat tinggi, dimana Ridwan menjadi penjaga Surga. Azazil sebelumnya telah menjadi penjaga surga selama ribuan tahun. (Baca sebelumnya: Sosok Azazil di Masa Pra Penciptaan Adam AS)

Suatu ketika ia membaca sebuah prasasti pada salah satu gerbang surga, di situ tertulis:

"Akan ada salah seorang hamba diantara hamba-hamba kekasih Allah Yang Maha Perkasa, dalam jangka waktu yang lama ia akan taat dan menghamba kepada Tuhannya dengan amat baik. Akan datang suatu hari, akhirnya ia akan melawan dan menentang Tuhannya, dan ia akan diusir dari pintu-Nya dan dilaknat”.

Azazil membaca dan heran pada ramalan ini. "Bagaimana mungkin itu terjadi? Bahwa salah satu hamba yang terdekat kepada Allah akan durhaka kepada Tuhan semesta alam dan diusir dari kedekatan dan kesucianNya?" ia membela, "Ya Allah, Berilah aku ijin untuk mengutuk penentang itu, siapapun ia". (Simak juga: Antara Iblis, Malaikat dan Manusia)

Tuhan memberinya ijin, dan Azazil mengutuki pendosa (yang telah diramalkan) itu dalam waktu ribuan tahun, tanpa ia tahu bahwa kutukan itu adalah untuk dirinya sendiri. Azazil lupa, dirinya adalah hamba Allah dan tak menyadari bahwa kata "hamba" yang tertera pada tulisan di pintu surga itu bisa menimpa kepada siapa pun, termasuk dirinya.

Selama itu pula Azazil menjadi malaikat yang dikenal penduduk surga karena do’anya selalu dikabulkan oleh Allah, bahkan para malaikat pernah memintanya untuk mendoakan agar mereka tidak tertimpa laknat Allah.

Tersebutlah suatu ketika saat berkeliling di surga, malaikat Israfil juga melihat dan membaca tulisan yang dibaca oleh Azazil tersebut. Tulisan itu tak pelak membuat Israfil menangis. Ia takut, hamba yang diramalkan itu adalah dirinya. Beberapa malaikat lain juga menangis dan punya ketakutan yang sama seperti Israfil, setelah mendengar kabar perihal tulisan di pintu surga itu dari Israfil. (Simak juga: Kekhawatiran Malaikat dan Bumi Atas Penciptaan Adam)

Mereka lalu sepakat mendatangi Azazil dan meminta didoakan agar tidak tertimpa laknat dari Allah. Setelah mendengar penjelasan dari Israfil dan para malaikat yang lain, Azazil lalu memanjatkan doa. “Ya Allah. Janganlah Engkau murka atas mereka”.

Dengan reputasi ibadahnya, Azazil semakin bebas berkelana ke berbagai lapis langit. Tidak ada wilayah langit yang belum dijamahnya. Seluruh malaikat kagum kepadanya. Ia dikenal sebagai malaikat yang maqbul doanya.
(Simak juga : Siapa Penghuni Bumi Sebelum Adam)

Di luar do'anya yang mustajab, Azazil dikenal juga sebagai penghulu para malaikat, bendaharawan surga, malaikat yang paling hebat dalam hal ijtihad dan paling banyak ilmunya, malaikat yang paling terang, malaikat yang paling mulya yang memiliki empat pasang sayap.

"Segala puji bagi Allah Pencipta langit dan bumi, Yang menjadikan malaikat sebagai utusan-utusan (untuk mengurus bermacam urusan) yang mempunyai sayap, masing-masing (ada yang) dua, tiga dan empat…" (QS. Fathir (35): 1)

Jadilah Azazil sebagai pemimpin malaikat di langit terdekat (sama' ad-dunya), cakrawala langit yang dapat kita saksikan serta bumi dan isinya diserahkan pengaturannya kepada Azazil. Karena memang ia bertugas mengatur urusan yang termasuk dalam lingkup langit dunia, yaitu makrokosmos yang termasuk juga bumi serta planet-planet lainnya, matahari, seluruh bintang dan galaksi hingga supercluster.
(Simak juga : Awal Kehidupan Adam Sebagai Penghuni Bumi)

Semua lapis langit dan para penghuninya menjuluki Azazil dengan sebutan penuh kemuliaan meski berbeda-beda:

Pada langit lapisan pertama ia berjuluk Al-'Abid, ahli ibadah yang mengabdi luar biasa kepada Allah. Di langit kedua, julukan Azazil adalah Ar-Raki' atau ahli rukuk kepada Allah. As-Sajid atau ahli sujud adalah gelarnya di langit ketiga. Pada langit berikutnya ia dijuluki Al-Khasyi' karena selalu merendah dan takluk kepada Allah. Karena ketaatannya kepada Allah, langit kelima menyebut Azazil sebagai Al-Qanit. Gelar Al-Mujtahid diberikan kepada Azazil oleh langit keenam, karena ia bersungguh-sungguh ketika beribadah kepada Allah. Pada langit ketujuh, ia dipanggil Az-Zahid, karena sederhana dalam menggunakan sarana hidup.

Selama 120 tahun, Azazil si penghulu para malaikat menyandang semua gelar kehormatan dan kemuliaan, yang dengan itu Azazil mulai merasa bangga akan kedudukannya. Kesombongan mulai merasuki diri Azazil. Untuk itu Tuhan hendak menjadikan kesombongan yang tersembunyi dalam diri Azazil menjadi nyata dengan menciptakan makhluk baru yang justru diciptakan dari tanah di bumi yang menjadi wilayah kekuasaan Azazil.

---------------------

Tafsir Al-Qurthubi yang ditulis oleh ulama besar dari Qurthubah, Spanyol, cukup luas membahas ayat-ayat Al-Quran serta menjelaskan banyak hukum-hukum yang terkandung di dalamnya. Di sana disebutkan bahwa jumhur ulama berpendapat bahwa Iblis termasuk yang diwajibkan untuk bersujud, karena saat itu Iblis masih termasuk ke dalam kategori malaikat.

Simak bin Harb meriwayatkan dari Ikrimah dari Ibnu Abbas, "Iblis dulunya adalah bagian dari malaikat, namun ketika dia bermaksiat Allah SWT marah kepadanya. Lalu Allah melaknatnya hingga menjadi syetan."

Masih menurut Ibnu Abbas ra, Iblis itu dahulu adalah malaikat yang bernama Azazil. Azazil termasuk senior malaikat. Dalam riwayat yang lain, namanya Al-Harits. Nama Azazil adalah nama dalam bahasa Ibrani dan Al-Harits adalah nama dalam Arab.

Menurut Al-Mawardi yang menceritakan dari Qatadah, "Iblis itu awalnya jenis yang paling afdhal dari jenis-jenis malaikat. Namanya Al-Jinnah"

Said bin Jubair berkata bahwa jin adalah bagian dari malaikat, tetapi dari jenis yang diciptakan dari api, dan iblis termasuk bagian ini. Sedangkan keseluruhan malaikat terbuat dari cahaya.

Ibu Zaid, Hasan dan Qatadah berkata bahwa Iblis adalah ayah dari bangsa jin, sebagaimana Adam adalah ayah dari bangsa manusia.

---------------------


Nama Azazil juga sering dikenal dengan berbagai ejaan, seperti: Azazel, Azaziel, Azazyel, Azael, Asael, Aziel atau Asiel. Azazil juga mempunyai beberapa julukan (kunyah), seperti: Abu Murrah, Abu Kurdus, dan Abu Karubiyyin. Kemudian kata Azazil dikenal dan dipakai dalam bahasa Arab, sebagaimana nama Jibril atau Jibra'il (Gabriel), Mîka'il (Michael), Israfil (Raphael), Izra'il (Uriel), Isma'il (Ismael), Isra'il (Israel), yang kesemuanya juga berasal dari bahasa Ibrani (Hebrew).

Bahasa Ibrani serumpun dengan bahasa Arab dalam lingkup bahasa Semit, sehingga kata 'azza atau 'azzaza dalam bahasa Arab juga berarti "kuat" atau "perkasa", dan salah satu nama Allah pun adalah Al-'Aziz (Yang Maha Perkasa) Namun oleh Ibnu Abbas dan lainnya, kata Azazil dalam bahasa Arab disetarakan dengan kata Al-Harits ((الحارث). Bagaimana kisah Azazil Disebut sebagai Iblis?


Topik Terkait
1) Sosok Azazil Di Masa Pra Penciptaan Adam AS
2) Azazil, Kekasih Allah Di Masa Itu...
3) Kekhawatiran Malaikat dan Bumi Atas Penciptaan Adam
4) Antara Iblis, Malaikat dan Manusia
5) Rayuan Iblis Kala Bulan Madu Adam dan Hawa

6) Siapa Penghuni Bumi Sebelum Adam
7) Awal Kehidupan Adam Sebagai Penghuni Bumi
8) Kehidupan Adam Dan Hawa di Bumi


jumrahonline | jumrah.com

Sosok Azazil Di Masa Pra Penciptaan Adam AS

by
Sosok Azazil Di Masa Pra Penciptaan Adam AS
Sebelum Adam ada, langit dan bumi telah diciptakan jauh sebelumnya. Dari berbagai perbedaan pendapat, paling lama awal kehidupan Adam adalah 6000 tahun sebelum masehi, itu artinya Adam diciptakan 6000 ditambah tahun masehi waktu kita membaca kisah ini. (Simak juga: Azazil, Kekasih Allah di Masa Itu...)

Misalnya, sekarang tahun 2016, berarti kira-kira Adam diciptakan 8016 tahun yang lalu. Sedangkan bumi telah ada jutaan tahun sebelum Adam diciptakan.

Sebelum Adam diciptakan oleh Allah Ta'ala,
bumi telah dihuni oleh salah satu kabilah Al-Jinn, yaitu salah satu kabilah malaikat yang paling mulia. Dari Wahab ibn Munabbih: Tuhan semesta alam menciptakan api Sammum. Dari api Sammum ini Dia menciptakan Jinn. Sammum adalah angin yang sangat panas membakar, atau api yang tidak berasap. Ketika Allah menghendaki sesuatu maka terbakarlah satu hijab, dari api yang membakar hijab inilah kabilah jin diciptakan.

Dinamakan Kabilah Al-Jinn karena kabilah ini menjadi khazanah perbendaharaan surga (Khuzzan al-Jannah), untuk itulah disebut Al-Jannah (taman atau surga). Kata "jinn" dan "jannah" memiliki akar kata yang sama. Dan miniatur surga yang paling memenuhi syarat dari kesekian planet di jagad raya adalah bumi. Maka Tuhan memberi mereka bumi untuk tinggal di tempat itu, dan mereka hidup dan beribadah di sana dalam waktu yang lama.

(Simak juga : Siapa Penghuni Bumi Sebelum Adam?)
 
Tersebutlah ia bernama Jann, nenek moyang bangsa jin yang menghuni bumi. Banyaknya ibadah yang ia kerjakan membuat para malaikat merasa kagum, dan berkata kepada Tuhan langit dan bumi, “Wahai Tuhan kami, angkatlah mereka ke langit, sehingga kami mungkin belajar dari mereka dan mengikuti contoh baik mereka."

Maka Allah mengangkat dan mendidik Jann agar men-jadi salah satu diantara para malaikat dan ia hidup dengan mereka di langit pertama, kemudian Jann disebut dengan nama kemalaikatannya yang baru, yaitu Azazil. Sementara kaum jin yang lain —yang masih tinggal di atas bumi— sebagian hidup dalam kebenaran, sedangkan sebagian yang lain menjadi pendosa dan melanggar hukum.



---------------------

Tafsir Al-Qurthubi yang ditulis oleh ulama besar dari Qurthubah, Spanyol, cukup luas membahas ayat-ayat Al-Quran serta menjelaskan banyak hukum-hukum yang terkandung di dalamnya. Di sana disebutkan bahwa jumhur ulama berpendapat bahwa Iblis termasuk yang diwajibkan untuk bersujud, karena saat itu Iblis masih termasuk ke dalam kategori malaikat.

Simak bin Harb meriwayatkan dari Ikrimah dari Ibnu Abbas, "Iblis dulunya adalah bagian dari malaikat, namun ketika dia bermaksiat Allah SWT marah kepadanya. Lalu Allah melaknatnya hingga menjadi syetan."

Masih menurut Ibnu Abbas ra, Iblis itu dahulu adalah malaikat yang bernama Azazil. Azazil termasuk senior malaikat. Dalam riwayat yang lain, namanya Al-Harits. Nama Azazil adalah nama dalam bahasa Ibrani dan Al-Harits adalah nama dalam Arab.

Menurut Al-Mawardi yang menceritakan dari Qatadah, "Iblis itu awalnya jenis yang paling afdhal dari jenis-jenis malaikat. Namanya Al-Jinnah"

Said bin Jubair berkata bahwa jin adalah bagian dari malaikat, tetapi dari jenis yang diciptakan dari api, dan iblis termasuk bagian ini. Sedangkan keseluruhan malaikat terbuat dari cahaya.

Ibu Zaid, Hasan dan Qatadah berkata bahwa Iblis adalah ayah dari bangsa jin, sebagaimana Adam adalah ayah dari bangsa manusia.

---------------------
 
 
Bumi mulai mengeluhkan mereka kepada Allah, "Wahai Tuhanku, apakah Kau ciptakan aku untuk didiami oleh penghuni yang durhaka?" Allah Ta'ala menjawab, "Wahai bumi, bersabarlah, Aku akan mengirimkan para nabi diantara mereka untuk memimpin mereka kembali ke jalan yang lurus."

Sampai waktu itu tidak ada nabi yang nampak diantara Jinn itu. Allah mengirim kepada mereka 800 nabi dan masing-masing mereka bunuh. Pada akhirnya Allah Ta'ala berkata kepada Azazil di langit pertama. Tuhan berkata kepadanya, "Pergilah, Azazil! Pergi dan perangilah mereka yang tak beriman dari kaummu yang tinggal di atas bumi."

Azazil yang patuh, turun ke bumi dan memerangi kaum (jinn) yang tak beriman itu, ia menaklukkan mereka, kemudian Allah menurunkan api dari langit yang melahap habis mereka, yang tersisa dan dapat menyelamatkan diri ke tengah-tengah samudera. Hanya Jinn yang beriman dan beribadah yang dibiarkan hidup.

Azazil beribadah dengan sangat bersungguh-sungguh hingga ia diangkat ke langit yang pertama, atau menurut satu riwayat, ia telah banyak beribadah di langit pertama hingga ia diangkat ke seluruh tujuh lapisan-lapisan langit dan yang di atasnya. Siapakah Azazil ...?


Topik Terkait
1) Sosok Azazil Di Masa Pra Penciptaan Adam AS
2) Azazil, Kekasih Allah Di Masa Itu...
3) Kekhawatiran Malaikat dan Bumi Atas Penciptaan Adam
4) Antara Iblis, Malaikat dan Manusia
5) Rayuan Iblis Kala Bulan Madu Adam dan Hawa

6) Siapa Penghuni Bumi Sebelum Adam
7) Awal Kehidupan Adam Sebagai Penghuni Bumi
8) Kehidupan Adam Dan Hawa di Bumi


jumrahonline | jumrah.com

Antara Iblis, Malaikat dan Manusia

by
Antara Iblis, Malaikat dan Manusia
Bangsa Jin diciptakan oleh Allah dari nyala api (min marij min nar), sedangkan malaikat dari cahaya (nur). Api (nar) dan cahaya (nur) dalam bahasa Arab berasal dari akar kata yang sama, yaitu terdiri dari huruf nun-waw-ra’. (Baca Sebelumnya: Kekhawatiran Malaikat dan Bumi Atas Penciptaan Adam AS)

Iblis adalah bapak dari kaum Jin, sebagaimana Adam adalah bapak dari manusia. Iblis yang sebelumnya termasuk malaikat yang tercipta dari cahaya (nur), karena ia berputus asa dari rahmat Allah (dengan tidak mau bersujud kepada Adam) maka diturunkanlah derajat kecahayaannya dari nur menjadi nar. Turun tingkat energi (frekuensi) nya namun meningkat pada panjang gelombangnya.

Nur (cahaya) dan nar (api), keduanya sama-sama cahaya, hanya berbeda spektrum. Sebagaimana dalam spektrum cahaya yang biasa kita sebut untuk warna pelangi: merah, jingga, kuning, hijau, biru, nila, ungu. Semua warna cahaya yang bisa kita sebut hanya berasal dari tiga cahaya: merah-hijau-biru, yang biasa disebut dalam istilah teknologi warna sebagai RGB (red-green-blue). Warna-warna lain adalah campuran dari dua atau tiga cahaya tersebut dengan proporsi tertentu.

Manusia mempunyai potensi setan dan malaikat. Jika baik, ia bisa melebihi malaikat. Jika buruk, ia bahkan bisa lebih rendah dari setan, serendah-rendahnya (asfala safilin). Kita hampir sering lupa bahwa kita adalah manusia yang bisa salah dan juga bisa benar. Betapa sibuknya kita menuntut orang lain agar selalu sempurna, selalu baik seperti malaikat. Di saat lain, kita hampir-hampir merasakan nikmat mengutuk sesama saudara yang berbeda aliran, seolah-olah mereka adalah setan.

FASTA’IDZ BILLAH (maka berlindunglah kepada Allah)

Kalimat ta’âwudz (kalimat meminta perlindungan yang biasa kita kenal adalah:


A'udzubillahi Minasy Syaithanir Rajim 

"Aku berlindung kepada Allah dari (godaan) setan yang terkutuk."

Dalam surah Al-A'raf (7):200, "Dan jika kamu ditimpa sesuatu godaan syetan, maka berlindunglah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui (as-samî’ al-‘alîm)."

Maka redaksi lain dari kalimat ta'awudz adalah:

A'udzu billahis Sami'il 'Alim, Minasy Syaythanir Rajim"

"Aku berlindung kepada Allah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui dari (godaan) setan yang terkutuk."

Dari struktur kalimat ta’awudz, kita diperintahkan agar berlindung kepada Allah dari setan yang terkutuk. Muncullah pertanyaan, “Mengapa dari setan, bukan dari iblis? Bukankah makhluk pertama yang disebut setan adalah Iblis yang asalnya bernama Azazil?”

Dalam beberapa ayat disebutkan persamaan figur antara iblis dan setan. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa Iblis adalah namanya, sedangkan setan adalah sifat dan perbuatannya. Iblis dari golongan jin, dan setan bisa berasal dari golongan jin dan manusia.

Dalam perintah agar minta perlindungan kepada Allah ini tersirat makna bahwa Iblis jelas lebih banyak dalam hal ilmu, iman, amal sampai ibadah. Bahkan Iblis semasa masih bernama Azazil telah menghuni surga dan seluruh lapisan langit telah ia ketahui dan jelajahi. Maka, hanya Allah yang akan dapat melindungi kita dari tipu daya Iblis.

Namun, dalam struktur kalimat ta’awudz kita tidak diperintahkan untuk berlindung dari Iblis, tetapi dari setan. Siapa setan dan siapa Iblis?

Iblis disebutkan dalam surah Al-Kahfi [18] ayat 50, “kâna minal jinn” (adalah dia (iblis, dulunya) dari golongan jin), termasuk golongan jin, bukan manusia. Iblis adalah nama salah satu makhluk dari bangsa jin. Menurut riwayat Ibnu Abbas, Iblis adalah bapak moyangnya jinn sebagaimana Adam adalah bapak moyangnya manusia.

Dalam surah Al-Jinn (72) ayat 1 sampai 15 banyak kita ketahui informasi kehidupan bangsa jin. Bahwa sebelum Muhammad diutus sebagai Rasul, bangsa jin masih dapat menempati beberapa tempat di langit untuk mendengarkan berita-berita dari para malaikat. Bahwa diantara bangsa jin juga ada yang mengikuti ajaran para nabi dari bangsa manusia sejak Adam hingga Isa, ada yang saleh dan ada yang tidak. Dengan demikian ada sebutan jin muslim dan jin kafir.

Sedangkan setan adalah sifat buruk yang bisa mungkin dimiliki oleh bangsa jin maupun manusia. Kata “setan” (syaythân) berasal dari akar kata yang terdiri dari huruf Syin-Thâ’-Nûn, yang bermakna “ba’uda” (jauh) dan “khâlafa” (menyalahi, mengingkari). Jadi, siapapun, baik jin atau manusia, jika menjauhkan diri, menyalahi atau mengingkari tujuan penciptaan (yaitu untuk beribadah kepada Allah), maka ia bisa disebut “setan”.

Dalam firman Allah surah Al-An’âm [6] ayat 112 disebut-kan frase “syayâthîn al-ins wa al-jinn” (setan-setan dari golongan manusia dan jin), dan merekalah yang menjadi musuh setiap para nabi. Sehingga pula dalam surah An-Nâs kita disuruh berlindung kepada Allah dari bisikan jahat setan-setan yang tersembunyi (khannâs) yang berasal dari golongan jin dan manusia (minal jinnati wan nâs).

Telah ditegaskan dalam firman Allah QS. Adz-Dzariyat [51] ayat 56, bahwa jin dan manusia diciptakan untuk ya’budûn (menyembah, mengabdi, beribadah dan menghamba). Jadi, hanya dua jenis makhluk yang diberi kewajiban menyembah atau beribadah, yaitu bangsa jin dan bangsa manusia. Artinya, yang memiliki pilihan baik-buruk, sehingga akan mendapat surga atau neraka, adalah jin dan manusia. Sedangkan makhluk lain, malaikat, tumbuhan, hewan dan benda-benda tidak termasuk yang diberi kewajiban, tidak memiliki pilihan selain hanya beribadah, bertasbih dan bersujud kepada Allah dengan caranya masing-masing.

Untuk itulah jika siapa saja dari bangsa jin dan manusia tidak berada pada jalanNya, maka mereka akan menjadi supporter neraka, seperti firman: “Sesungguhnya akan Aku penuhi neraka jahanam itu dengan jin dan manusia bersama-sama”. (QS. As-Sajdah (32): 13)

Setan disebut "musuh yang nyata" bukan nyata dalam hal pandangan mata, bukan maksudnya bahwa setan itu bisa dilihat mata kepala. Karena kata "nyata" yang menyifati setan tersebut dengan kata "mubin", yang berarti nyata dan jelas duduk perkara dan masalahnya. Ketidakrelaan iblis untuk mengakui keunggulan Adam sudah menjadi penjelasan (bayân) dan bukti nyata (bayyinah) bahwa ia akan terus memusuhi Adam dan keturunannya. Disebut jelas karena setan bisa berada diantara (bayna) diri kita sendiri, bahkan bisa berada di dalam diri kita sendiri.

Jadi, dalam struktur kalimat ta’awudz tersirat makna bahwa ada yang lebih berbahaya dan lebih mungkin menyesatkan daripada Iblis, yaitu sifat-sifat syaithaniyyah (satanic) yang ada dalam diri manusia sendiri, kesombongan, merasa paling baik ibadahnya, merasa paling benar, merasa paling tahu segala hal, dan sebagainya yang ujungnya adalah penuhanan diri sendiri. Dan inilah yang disebut jauh dan menyalahi/mengingkari kadar kemakhlukannya, karena yang berhak sombong, yang paling sempurna, yang paling tahu, yang paling benar, tentu adalah Sang Pencipta sendiri.

Pada puncaknya, yang paling kita takuti adalah jika tipudaya itu berasal dari Allah sendiri. Karena Allah berbuat apa saja yang Dia kehendaki, Allah menyesatkan siapa saja yang Dia kehendaki, atau memberi petunjuk siapa saja yang Dia kehendaki (lihat QS. 13:27, 14:4, 16:93, 35:8, 74:31).

Azazil, yang saat itu menjadi makhluk nomor satu di langit dan di bumi, karena Allah telah menghendaki, ia pun tersesat oleh dirinya sendiri, oleh sifat setan yang ada dalam dirinya tanpa ia sadari.

Karena melihat Azazil dikutuk oleh Allah pertama kalinya, maka Jibril, Mikail, Izra'il dan Israfil menangis memohon perlindungan kepada Allah.

Salah satu redaksi doa yang diajarkan Rasulullah SAW:
.
"Aku berlindung dengan ridhaMu dari amarahMu, dan aku berlindung dengan ampunanMu dari murkaMu, dan aku berlindung kepadaMu dariMu."

 

Demikianlah. Setelah manusia dapat mengendalikan syetan dalam dirinya, maka ia harus berhadapan dengan dirinya sendiri. Karena terhadap dirinya sendiri, manusia pun bisa sangat mudah menipu. Menipu diri sendiri. Mencurangi diri sendiri. Menghibur diri sendiri. Menganggap indah dan baik semua perbuatannya sendiri.

Bahkan setelah manusia mampu mengendalikan dirinya, yang terakhir harus dihadapi adalah Allah. Kalau Allah sudah menghendaki, apapun terjadi. 70 tahun kafir, tetapi 5 menit sebelum ajal ternyata bertobat, Allah yang berkuasa melakukan itu. 70 tahun selalu beribadah, tetapi 5 menit sebelum ajal ternyata murtad, Allah yang berhak berbuat itu. Maka, benarlah firmanNya yang sering diulang-ulang:

"Barangsiapa yang disesatkan Allah, sekali-kali kamu tidak mendapatkan jalan (untuk memberi petunjuk) kepadanya." (QS. An-Nisâ’ [4]: 88; lihat juga: QS. An-Nisâ’ [4]: 143; Al-A’râf [7]: 178, 186; Ar-Ra’d [13]: 33; Al-Isrâ’ [17]: 97; Al-Kahf [18]: 17; Az-Zumar [39]: 23, 36; Al-Mu’min [40]: 33; Asy-Syûrâ [42]: 44, 46)

Salah satu kesombongan terbesar adalah kita diam-diam bangga dengan jumlah ibadah yang telah kita lakukan kemudian diam-diam merasa tidak mungkin tersesat. Sedangkan Allah adalah Sebaik-baik pembuat tipudaya (Khayrul Mâkirîn, QS. Ali Imrân [3]: 54 & Al-Anfâl [8]: 30). Siapakah yang bisa lepas dari tipudaya Allah?

Oleh karena itu, dalam doa dari Nabi SAW diatas diakhiri dengan kalimat: "Aku berlindung kepada-Mu dari-Mu."

Bersujudlah Kepada Ruh-Ku

Ketika Iblis ditanya oleh Allah Ta'ala, mengapa ia tidak bersedia bersujud kepada Adam, ia menjawab, "Aku lebih baik daripada dia, Kau ciptakan aku dari api sedangkan dia Kau ciptakan dari tanah. Apakah aku akan bersujud kepada manusia yang telah Kau ciptakan dari tanah? Terangkanlah kepadaku, inikah orangnya yang telah Kau muliakan atas diriku?”
(Tersurat dalam QS. Al-A'raf (7):12; Al-Isra' (17):61; Al-Isra' (17):62).

Dari jawaban Iblis tersebut dapat dipahami bahwa ia sekedar melihat sisi lahiriah Adam yang diciptakan dari tanah bumi, yang mana saat itu masih menjadi wilayah kekuasaannya. Ia tidak (atau tidak mau) melihat sisi baathiniyah Adam, bahwa Ruh Allah ada di dalam diri Adam. Kepada Ruh-Nya inilah perintah sujud tertuju, bukan kepada daging Adam atau Adam sebagai makhluk.

Iblis Harus Sujud Kepadamu (?)


Dengan mengenal kisah-kisah tersebut, maka sudah menjadi ketentuan Allah bahwa Iblis memang HARUS sujud kepada anak cucu Adam, karena Ruh Allah yang menggerakkan kehidupannya. Namun mengapa kita mengutuki iblis secara terang-terangan tetapi kita jadikan sahabat secara diam-diam?

Seorang pelacur yang memberi minum anjing dapat terampuni dosa-dosanya. Hanya sekali, dan kepada anjing pula. apalagi jika perbuatan baik itu kita berikan kepada sesama manusia, sesama saudara seagama pula?

Namun mengapa sepertinya sulit memberikan ruang dan kesempatan bagi sesama saudara seagama untuk beribadah sesuai dengan kapasitas masing-masing. Sekali lagi, hanya berbuat baik kepada anjing dapat terampuni dosa-dosa kita.

Betapa terlenanya, kita mengutuki sesama saudara seolah-olah esok pagi kita masih bisa menjamin bahwa iman kita selalu berada dalam kebenaran. (*)



Topik Terkait
1) Sosok Azazil Di Masa Pra Penciptaan Adam AS
2) Azazil, Kekasih Allah Di Masa Itu...
3) Kekhawatiran Malaikat dan Bumi Atas Penciptaan Adam
4) Antara Iblis, Malaikat dan Manusia
5) Rayuan Iblis Kala Bulan Madu Adam dan Hawa

6) Siapa Penghuni Bumi Sebelum Adam
7) Awal Kehidupan Adam Sebagai Penghuni Bumi
8) Kehidupan Adam Dan Hawa di Bumi


jumrahonline | jumrah.com

Kekhawatiran Malaikat dan Bumi Atas Penciptaan Adam

by
Kekhawatiran Malaikat dan Bumi Atas Penciptaan Adam AS
Di suatu masa, tibalah saatnya ketika para malaikat melakukan musyawarah besar atas undangan Allah Ta'ala. (Baca Sebelumnya: Azazil Kekasih Allah Di Masa Itu...)

"Dan ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menciptakan seorang khalifah di bumi". Para malaikat berkata: "Mengapa hendak Kau jadikan [khalifah] di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan di dalamnya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memujiMu dan menyucikanMu?" Tuhan menjawab: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kalian ketahui." (QS. Al-Baqarah (2):30)

Kekhawatiran malaikat ini karena memang sebelumnya telah terjadi pertumpahan darah di bumi oleh bangsa jinn.

Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku akan menciptakan seorang manusia dari tanah." (QS. Shad (38): 71)


Dalam Bahrul 'Ulum li As-Samarqandiy 1:35, disebutkan: Kemudian Allah memerintahkan malaikat Jibril untuk mengambil tanah di bumi sebagai bahan penciptaan Adam. Namun bumi berkata kepada Jibril; "Atas nama Allah yang telah mengutusmu, jangan kau lakukan! karena aku takut dari tanah ini akan diciptakan makhluk yang banyak durhaka kepada Allah, sehingga aku akan malu kepadaNya."


Demikianlah argumentasi bumi yang telah lama bersahabat dengan Azazil, sehingga sangat pandai mengucap kata. Bumi menolak perintah Allah dengan bersumpah atas nama Allah, sebuah kalimat kontradiktif yang secara sepintas nampak tawadhu' namun terjadi pengingkaran perintah.

Namun karena Jibril di kala itu tidak terlatih untuk berargumentasi, maka kembalilah Jibril ke hadapan Allah. Dengan rasa sungkan, Jibril menghadap Allah sambil berkata, "Demikianlah yang terjadi, ya Tuhan! Namun jika diperintahkan turun lagi ke bumi, hamba pun akan turun."

Lalu diutuslah malaikat Mika'il, namun kejadiannya sama dengan Jibril. Begitu pula malaikat Israfil juga tak bisa berkelit dengan argumentasi bumi, hingga Israfil pun juga kembali menghadap Allah. Ini mengisyaratkan bahwa dari bumi akan tercipta dan lahir makhluk yang kedudukannya di sisi Allah bisa melebihi para malaikat.

Lalu diutuslah malaikat Izra’il, dan sebagai kalimat ketundukan sebelum melaksanakan perintah, Izrail memuji Allah dengan kalimat Baqiyatush Shalihah sampai lima kali:

"Subhanallah Wal Hamdulillah, Wala Ilaha Illallah Wallahu Akbar"
"Maha Suci Allah, segala puji untuk Allah, tidak ada tuhan selain Allah, Allah Maha Besar, tiada daya dan kekuatan kecuali dengan (izin) Allah."

 
Maka turunlah Izrail ke bumi, dan seperti halnya Jibril, Mikail dan Israfil, bumi pun menggertak dengan argumentasi yang hebat. Namun Izrail membalas gertakan bumi dengan berkata, "Ma amarallah awla min qawlik" (Apa yang diperintahkan Allah lebih utama dari ucapanmu). Lalu Izrail mengumpulkan tanah berwarna merah, kuning, hitam dan putih, lalu dibawa kembali menghadap Allah.

Menurut versi lain, Izrail yang kemudian ditugasi Allah untuk membentuk rupa Adam. Dan karena Izrail yang berhasil membawa tanah sebagai bakal tubuh Adam, maka Izrail yang kemudian akan ditugasi untuk mencabut nyawa Adam dan anak keturunannya, hingga nyawa Izrail sendiri.

Sesungguhnya Kami telah menciptakanmu (Adam), lalu Kami bentuk tubuhmu, … (QS. Al-A’râf (7): 11)
"Maka apabila telah Kusempurnakan kejadiannya (Adam), dan telah Kutiupkan ke dalamnya ruh-Ku, maka tunduklah kalian kepadanya (Adam) dengan bersujud."

Lalu bersujudlah para malaikat itu semuanya bersama-sama, kecuali Azazil, dia tidak termasuk yang ikut ber-sujud, dia membangkang dan menyombongkan diri. (Selengkapnya tersurat dalam QS. Al-Baqarah (2): 30-39; Al-A'raf (7): 11-25; Al-Hijr (15): 26-31; Al-Isra’ (17): 61-65; Al-Kahfi (18): 50-51, Thaha (20): 115-124; dan Shad (38): 71-74)

Karena Azazil tidak mematuhi perintah Allah Ta'ala, maka serta merta Allah tidak memanggil dengan nama Azazil lagi, tapi dengan nama barunya, Iblis, karena ia telah berputus asa dari rahmat Allah. Ia menjadi sosok yang diramalkan dan bahkan ia kutuk selama seribu tahun.

"Hai iblis, apakah yang menghalangimu sujud kepada yang telah Ku-ciptakan dengan kedua tanganKu. Apakah kamu menyombongkan diri ataukah kamu (merasa) termasuk yang (lebih) tinggi?” (QS. Shâd [38]: 75)

Bagaimana argumentasi Iblis atas ketidakpatuhannya untuk bersujud kepada Adam. Baca Selanjutnya : Antara Iblis, Malaikat dan Manusia

.
Topik Terkait
1) Sosok Azazil Di Masa Pra Penciptaan Adam AS
2) Azazil, Kekasih Allah Di Masa Itu...
3) Kekhawatiran Malaikat dan Bumi Atas Penciptaan Adam
4) Antara Iblis, Malaikat dan Manusia
5) Rayuan Iblis Kala Bulan Madu Adam dan Hawa

6) Siapa Penghuni Bumi Sebelum Adam
7) Awal Kehidupan Adam Sebagai Penghuni Bumi
8) Kehidupan Adam Dan Hawa di Bumi


jumrahonline | jumrah.com

Sejarah Perjalanan Haji di Masa Silam

by
Sejarah Perjalanan Haji di Masa Silam
Sebagai umat Muslim yang mampu, menunaikan ibadah haji hukumnya wajib. Berbeda dengan kewajiban-kewajiban syari’at lainnya, menunaikan ibadah haji boleh dikatakan merupakan kewajiban terberat dalam Islam.

Tantangan yang dialami oleh para jamaah haji menuju ke tanah suci tidak kecil, mulai dari mengalami gangguan kesehatan, hingga musibah yang berisiko kematian akibat berdesak-desakan dan terinjak-injak oleh sesama jemaah haji, seperti pernah dialami pada 2015  dan beberapa tahun sebelumnya akibatnya belum optimalnya pelayanan haji yang diselenggaraan sang "Khadimul Haramain".

Itu terjadi di belakangan ini, ketika semua sarana dan prasarana penyelenggaraan haji sudah sangat modern.

Bagaimana dengan jaman dulu, ratusan tahun lalu, saat pesawat terbang belum ada, bahkan kendaraan darat pun baru sebatas hewan tunggangan seperti kuda dan onta ? Dapat kita bayangkan betapa beratnya menunaikan ibadah haji pada masa itu terutama bagi kaum muslimin yang tinggal jauh dari tanah suci seperti di Indonesia.

Kabarnya, dulu perjalanan menuju Makkah dari daerah-daerah di Nusantara membutuhkan waktu 2 hingga 6 bulan lamanya karena perjalanan hanya dapat ditempuh melalui laut dengan menggunakan kapal layar. Bayangkan berapa banyak perbekalan berupa makanan dan pakaian yang harus dipersiapkan para jemaah haji ! Itu pun belum tentu aman.


Kafilah haji selalu harus waspada akan kemungkinan para bajak laut dan perompak di sepanjang perjalanan, belum lagi ancaman topan, badai dan penyakit. Tidak jarang ada jemaah haji yang urung sampai di tanah suci karena kehabisan bekal atau terkena sakit. Kebanyakan dari mereka tinggal di negara-negara tempat persinggahan kapal.

Karena beratnya menunaikan ibadah haji, mudah dimengerti bila kaum muslimin yang telah berhasil menjalankan rukun Islam kelima ini kemudian mendapatkan kedudukan tersendiri dan begitu terhormat dalam masyarakat sekembalinya ke negeri asalnya. Mereka pun kemudian mendapat gelar "Haji", sebuah gelar yang umum disandang para hujjaj yang tinggal di negara-negara yang jauh dari Baitullah seperti Indonesia dan Malaysia, tapi gelar ini tidak populer di negara-negara Arab yang dekat dengan tanah suci.

Sejak kapan kaum muslimin Indonesia mulai menunaikan ibadah haji ? Yang jelas kesadaran untuk menunaikan ibadah haji telah tertanam dalam diri setiap muslim Indonesia generasi pertama semenjak para juru da’wah penyebar agama yang datang ke nusantara memperkenalkan agama Islam.

Prof. Dadan Wildan Anas (PR 17 Januari 2006) menyebutkan dalam naskah Carita Parahiyangan dikisahkan bahwa pemeluk agama Islam yang pertama kali di tanah Sunda adalah Bratalegawa putra kedua Prabu Guru Pangandiparamarta Jayadewabrata atau Sang Bunisora penguasa kerajaan Galuh (1357-1371). Ia menjadi raja menggantikan abangnya, Prabu Maharaja (1350-1357) yang gugur dalam perang Bubat yaitu peperangan antara Pajajaran dengan Majapahit.

Bratalegawa memilih hidupnya sebagai seorang saudagar, ia sering melakukan pelayaran ke Sumatra, Cina, India, Srilanka, Iran, sampai ke negeri Arab. Ia menikah dengan seorang muslimah dari Gujarat bernama Farhana binti Muhammad. Melalui pernikahan ini, Bratalegawa memeluk Islam. Sebagai orang yang pertama kali menunaikan ibadah haji di kerajaan Galuh, ia dikenal dengan sebutan Haji Purwa (Atja, 1981:47).

Setelah menunaikan ibadah haji, Haji Purwa beserta istrinya kembali ke kerajaan Galuh di Ciamis pada tahun 1337 Masehi. Di Galuh ia menemui adiknya, Ratu Banawati, untuk bersilaturahmi sekaligus mengajaknya masuk Islam. Tetapi upayanya itu tidak berhasil. Dari Galuh, Haji Purwa pergi ke Cirebon Girang untuk mengajak kakaknya, Giridewata atau Ki Gedeng Kasmaya yang menjadi penguasa kerajaan Cirebon Girang, untuk memeluk Islam. Namun kakaknya pun menolak.

Naskah kuno selain Carita Parahyangan yang mengisahkan orang-orang jaman dulu yang telah berhasil menunaikan ibadah haji adalah Carita Purwaka Caruban Nagari dan naskah-naskah tradisi Cirebon seperti Wawacan Sunan Gunung Jati, Wawacan Walangsungsang, dan Babad Cirebon.

Dalam naskah-naskah tersebut disebutkan adanya tokoh lain yang pernah menunaikan ibadah haji yaitu Raden Walangsungsang bersama adiknya Rarasantang. Keduanya adalah putra Prabu Siliwangi, Raja Pajajaran, dan pernah berguru agama Islam kepada Syekh Datuk Kahpi selama tiga tahun di Gunung Amparan Jati Cirebon.

Setelah cukup berguru ilmu agama Islam, atas saran Syekh Datuk Kahpi, Walangsungsang bersama adiknya Rarasantang berangkat ke Mekah -diduga antara tahun 1446-1447 atau satu abad setelah Bratalegawa- untuk menunaikan ibadah haji dan menambah ilmu agama Islam.

Dalam perjalanan ibadah haji itu, Rarasantang dinikahi oleh Syarif Abdullah, Sultan Mesir dari Dinasti Fatimiyah (?), dan berputra dua orang yaitu Syarif Hidayatullah (1448) dan Syarif Arifin (1450). Sebagai seorang haji, Walangsungsang kemudian berganti nama menjadi Haji Abdullah Iman, sementara Rarasantang berganti nama menjadi Hajjah Syarifah Mudaim.

Sementara dari kesultanan Banten, jemaah haji yang dikirim pertama kali adalah utusan Sultan Ageng Tirtayasa. Ketika itu, Sultan Ageng Tirtayasa berkeinginan memajukan negerinya baik dalam bidang politik diplomasi maupun di bidang pelayaran dan perdagangan dengan bangsa-bangsa lain (Tjandrasasmita, 1995:117).

Di tahun 1671 sebelum mengirimkan utusan ke Inggris, Sultan Ageng Tirtayasa mengirimkan putranya, Sultan Abdul Kahar, ke Mekah untuk menemui Sultan Mekah sambil melaksanakan ibadah haji, lalu melanjutkan perjalanan ke Turki. Karena kunjungannya ke Mekah dan menunaikan ibadah haji, Abdul Kahar kemudian dikenal dengan sebutan Sultan Haji.

Menurut naskah Sajarah Banten diceritakan suatu ketika Sultan Banten berniat mengirimkan utusannya kepada Sultan Mekah. Utusan itu dipimpin oleh Lebe Panji, Tisnajaya, dan Wangsaraja. Perjalanan haji saat itu harus dilakukan dengan perahu layar, yang sangat bergantung pada musim. Biasanya para musafir menumpang pada kapal dagang sehingga terpaksa sering pindah kapal.

Perjalanan itu membawa mereka melalui berbagai pelabuhan di nusantara. Dari tanah Jawa terlebih dahulu harus menuju Aceh atau serambi Mekah, pelabuhan terakhir di nusantara yang menuju Mekah. di sana mereka menunggu kapal ke India untuk ke Hadramaut, Yaman, atau langsung ke Jeddah. Perjalanan ini bisa makan waktu enam bulan atau lebih.

Di perjalanan, para musafir berhadapan dengan bermacam-macam bahaya. Musafir yang sampai ke tanah Arab pun belum aman. Pada masa awal perjalanan haji, tidak mengherankan apabila calon jemaah dilepas kepergiannya dengan derai air mata; karena khawatir mereka tidak akan kembali lagi.


Demikian beberapa catatan tentang kaum muslimin Nusantara zaman dulu yang telah berhasil menunaikan ibadah haji. Dari kisah-kisah tersebut nampaknya ibadah haji merupakan ibadah yang hanya terjangkau kaum elit, yaitu kalangan istana atau keluarga kerajaan.

Hal ini menunjukkan pada zaman itu perjalanan untuk melaksanakan ibadah haji memerlukan biaya yang sangat besar. Namun demikian, tidak tertutup kemungkinan adanya masyarakat kalangan bawah yang juga telah berhasil menunaikan ibadah haji namun tidak tercatat dalam sejarah. Gelar “Haji” memang pantas bagi mereka.

Sekarang perjalanan haji seharusnya tidak sesulit zaman dulu. Sudah selayaknya pemerintah mempermudah perjalanan haji dan memberikan pelayanan sebaik-baiknya bagi kaum muslimin yang ingin menunaikannya.


jumrahonline | jumrah.com

Dahsyatnya Allah Mengatur Waktu Bagi Kita

by
Dahsyatnya Allah Mengatur Waktu Bagi Kita
Sebuah kisah pendek yang inspiratif, sebuah situasi yang cukup mencemaskan yang tengah dialami oleh seseorang. Benarkah, situasi yang begitu dilematis itu datang, dikarenakan jadwal shalat-nya yang setiap hari juga berantakan? Mari kita simak kisahnya...

Suatu hari, dulu saat awal memulai bisnis, saya mengalami situasi seperti ini; saya membuat janji pertemuan dengan tiga orang berbeda di kota Jakarta. Saat itu saya tinggal di Yogyakarta, dan tidak banyak memiliki kenalan di Jakarta. Sementara, kondisi keuangan saya saat itu untuk pergi ke Jakarta pun sedang 'pas-pasan'.


Dengan kondisi seperti itu, saya merasa kebingungan karena jadwal pertemuannya sudah diatur dari Jakarta. Pertemuan dengan Pak A direncanakan hari Senin siang, dengan Pak B hari Rabu pagi, sedangkan dengan Ibu C di hari Jumat sore. 


Jika mau gampang, saya harus berangkat naik kereta Minggu malam dan menginap di Jakarta selama lima hari dan pulang kembali ke Yogya pada Jumat malam.

Masalahnya, dimana saya mau menginap? bagaimana biaya makannya selama lima hari itu? Salah-salah nggak bisa kembali pulang. Padahal ini pertemuan bisnis dan jadwalnya sudah di-arrange lama dan posisi orang yang mau saya temui itu para pengambil keputusan untuk penawaran kerja promosi.


Tentu saja, saya harus mengikuti jadwal mereka, karena posisi saya tak kuasa menentukan jadwal, saya yang membutuhkan mereka.

Pusing rasanya, saya memikirkan jadwal yang mustahil itu. Sampai seminggu menjelang harinya, saya bertemu seorang teman yang kebetulan dia adalah muslim yang taat dan pengetahuan agamanya cukup baik.

Dalam perbincangan kami sempat saya utarakan kesulitan saya itu, syukur bila ia bisa berbagi solusi. Saya pun curhat padanya. Teman saya hanya  mengangguk-angguk lalu bertanya pada saya, "Jadwal shalatmu gimana?"

"Jadwal shalat? Aduh, apa hubungannya?" jawab saya dengan nada keheranan.

"Iya, shalat subuh mu jam berapa?" tanpa menjawab pertanyaan saya, dia meneruskan pertanyaannya.

" Ya, jam setengah enam, jam enam, sebangunnya saya lah, kenapa," jawab saya.

"Shalat dhuhur jam berapa?" tanya dia lagi.

"Dhuhur? Jadwal sholat dhuhur ya biasanya jam 12" jawab saya.

"Bukan, maksudku jadwal shalat dhuhurmu itu jam berapa?" ia terus mendesak.

"Oooh, jam dua kadang setengah tiga biar langsung bisa shalat Ashar. Ah, tapi apa hubungannya dengan masalahku tadi?" saya tambah bingung.

Teman saya tersenyum dan berkata, "Pantas saja jadwal hidupmu berantakan, shalat mu saja nggak tentu jadwalnya"

"Lho kok, apa hubungannya?" saya tambah bingung.

"Kamu serius mau menyelesaikan masalahmu minggu depan ke Jakarta?" tanyanya lagi.

"Lha iya, makanya saya tadi cerita!" saya menyahut sedikit kesal.

"Beresin dulu jadwal shalat wajibmu. Jangan terlambat shalat, jangan ditunda-tunda, kalau bisa shalat berjamaah," jawabnya.

"Kok.. hubungannya apa?" saya makin penasaran.

"Kamu kerjakan saja dulu kalau mau, tapi kalau tidak juga tidak apa-apa, yang punya masalah itu kan kamu bukan aku...," jawabnya.

Saya pun pamit, jawabannya sungguh tak memuaskan hati saya, "nggak nyambung..." kata saya dalam hati.

Saya pun mencoba mencari cara lain sambil mengumpulkan uang saku untuk berangkat yang memang terbatas. Tetapi sehari itu sepertinya saya tidak menemukan jalan terang alias buntu.

Sampai akhirnya saya berpikir untuk mencoba sarannya. Saya pikir, toh tidak beresiko apa pun juga. Tapi memang, karena tidak terbiasa shalat yang teratur, rasanya berat sekali melakukanya. Sholat tepat waktu berat jika kita terbiasa menunda, malas-malasan, melaksanakannya di saat-saat terkhir waktu shalat.

Dua hari sudah saya jalani shalat teratur sesuai jadwal, tetapi tak terjadi apa-apa... makin yakin saya bahwa saran teman saya itu tidak berguna.

Tetapi di hari ketiga, ponsel saya berdering. Dari asisten Pak A, ia mengatakan, "Mas, mohon maaf sebelumnya, karena Pak A belum bisa ketemu hari Senin besok. Ada rapat mendadak dengan direksi. Saya belum tahu kapan bisa ketemunya, nanti saya kabari lagi."
.
Di ujung telepon saya ternganga, bukannya jadwal saya makin teratur ini malah ada kemungkinan dibatalkan. Makin jauh lagi logika saya untuk menemukan solusinya, tapi apa daya. Karena bingung, saya pun terus melanjutkan shalat saya teratur sesuai jadwalnya.


Di hari berikutnya, ponsel saya berdering lagi. Dari sekretaris Pak B. Ia mengatakan, "Mas, semoga belum beli tiket ya, karena Pak B ternyata ada jadwal general check up hari Rabu depan, jadinya tidak bisa ketemu. Tadi Bapak tanya bisa nggak ketemunya hari Jumat saja, jamnya mengikuti jadwal Mas."

Yang ini saya benar-benar membuat saya kaget. "Hari Jumat, berarti bersamaan dengan jadwalnya Ibu C? Dengan tenang saya pun menyahut, "Baik, tidak apa-apa Pak. Jumat pagi, jam 9 bisa, ya?"

Dari seberang sana menjawab, "Oke Mas, nanti saya sampaikan."

Alhamdulillah, saya berteriak dalam hati. Belum hilang rasa kaget saya, dering ponsel saya menyala lagi. Sebuah pesan pendek masuk dan tertulis dilayar:

"Mas, Pak A minta ketemuannya hari Jumat setelah Jumatan. Jam 13.30. Diusahakan ya Mas, tidak lama kok. 1 jam cukup."

Kontan saya sangat terkejut! Masya Allah, tanpa campur tangan saya sama sekali, jadwal pertemuan itu seolah menyusun dengan sendirinya. Saya sangat takjub! Begitu dahsyat kejutan ini, saya pun langsung sujud syukur ... sesujud-sujudnya. 


Sungguh, keajaiban seperti ini takkan bisa didapatkan siapa pun, bahkan Seven Habits-nya Stephen Covey, tidak juga dari Eight Habbits tak akan mampu menjelaskan ini. Hanya Allah Ta'ala yang kuasa mengatur segala sesuatu dari Arsy-Nya disana.

Sampai saya meyakini satu hal yang hingga sekarang saya terapkan terus "Dahulukan jadwal waktumu untuk Allah maka Allah akan mengatur jadwal hidupmu sebaik-baiknya."

Jika dalam hidup ini kita mengutamakan Allah, maka Allah akan selalu menjaga hidup kita. Allah mengikuti perlakuan kita kepadaNya, makin teratur kita menyambut-Nya, makin teratur jadwal hidup kita.

Jadi inilah kunci sukses bisnis pertama yang saya bisa share ke teman-teman: Shalatlah tepat waktu, usahakan jamaah. Jika mau lebih memantapkannya lagi, lakukan shalat sunnah; qobliyah, ba'diyah, tahajjud, dhuha, semampunya.

Sahabat muslim, silakan dipraktekkan, Insya Allah jadwal kehidupan kita (baik secara personal, dalam keluarga, dalam masyarakat maupun dalam berbisnis) akan lebih mudah dijalani.
 

Apa yang disampaikan pak Arief Budiman, sesungguhnya pengamalan dari hadits Nabi:
Abdullah bin ‘Abbas RA– menceritakan, suatu hari saya berada di belakang Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Beliau bersabda, "Nak, aku ajarkan kepadamu beberapa untai kalimat: Jagalah Allah, niscaya Dia akan menjagamu. Jagalah Allah, niscaya kau dapati Dia di hadapanmu. Jika engkau hendak meminta, mintalah kepada Allah, dan jika engkau hendak memohon pertolongan, mohonlah kepada Allah. Ketahuilah, seandainya seluruh umat bersatu untuk memberimu suatu keuntungan, maka hal itu tidak akan kamu peroleh selain dari apa yang telah Allah tetapkan untukmu. Dan andaipun mereka bersatu untuk melakukan sesuatu yang membahayakanmu, maka hal itu tidak akan membahayakanmu kecuali apa yang telah Allah tetapkan untuk dirimu. Pena telah diangkat dan lembaran-lembaran telah kering.”

(Hadits Sahih riwayat Imam Tirmidzi, Imam Ahmad)


Sumber cerita: M. Arief Budiman

Top Ad 728x90