Salah satu syiar yang pernah diberlakukan Umar bin Khatab RA adalah shalat tarawih berjamaah. Pelaksanaannya ialah usai shalat Isya secara langsung, tanpa harus ada jeda hingga larut malam.
Di sebagian kalangan, muncul fenomena shalat Tahajud berjamaah. Biasanya dikerjakan di masjid atau lokasi tertentu. Waktunya adalah sepertiga malam terakhir. Apakah shalat Tahajud seperti ini boleh dilakukan?
Dhaya’ al-Mashabih, karya Abu Abdurrahman bin Isa al-batini, mencoba mengupas persoalan ini secara mendetail. Buku ini memaparkan perihal inti permasalahan berikut dinamika perbedaan pendapat di dalamnya. Argumentasi kelompok masing-masing juga diutarakan.
Dalam kajian fikih klasik, ujar Syekh al-Batini, shalat Tahajud berjamaah dalam konteks fenomena yang berkembang belakangan ini disebut dengan ta’qib. Mengutip pernyataan Ibnu Qudamah di magnum opusnya, al-Mughni, pengertian ta’qib adalah mengerjakan shalat sunah berjamaah apa pun di luar shalat Tarawih.
Muhammad bin Nashr al-Maruzi menyatakan definisi ta’qib, yakni kembalinya para jamaah menuju masjid untuk menunaikan shalat sunah berjamaah. Apa pun itu, pada intinya ta’qib merupakan pelaksanaan shalat di luar Tarawih secara berjamaah.
Syekh al-Batini menyebut, topik ini hangat diperbincangkan di antara pemuka dua mazhab, yakni Hanbali dan Hanafi. Ia bahkan menegaskan, tema itu hanya dikupas di kedua mazhab tersebut.
Menurut Mazhab Hanafi, hukum ta’qib, seperti shalat Tahajud berjamaah adalah makruh. Ini seperti dinukilkan dari Ibnu Muflih. Ia menyatakan, shalat sunah itu hanya dilakukan berjamaah sekali.
Bila hendak melakukannya lagi, cukup tunaikan sendirian. Penegasan ini juga disampaikan oleh Ibnu Najim dalam al-Bahr ar-Raiq Syarh Kanz Daqaiq dan al-Kasani di kitab Bada’i as-Shana’i fi Tartib as-Syara’i’.
Hukum taq’ib berdasarkan pandangan Mazhab Hanbali, ada dua riwayat yang berbeda. Riwayat pertama dari Imam Ahmad menyebutkan hukum shalat seperti tersebut makruh. Ini seperti pendapat yang dianut oleh kubu yang pertama. Sedangkan, riwayat lain dari Imam Ahmad memberi sinyal bahwa hukum shalat Tahajud berjamaah boleh dilakukan.
Imam Ahmad, sebagaimana dikisahkan oleh Ibnu Qudamah, pernah mengatakan bahwa hukum shalat Tahajud berjamaah atau sunah lainnya secara berjamaah ialah boleh. Pendapat Imam Ahmad itu merujuk pada pernyataan Imam Malik yang mengatakan, segala perkara yang kembali kepada kebaikan maka tunaikanlah, tetapi jika mengarah pada keburukan, segera tinggalkan.
Dalam konteks shalat Tahajud berjamaah, pendiri Mazhab Maliki itu memilih boleh hukumnya. Muhammad bin al-Hakam menilai, opsi pendapat makruh dari riwayat Ahmad dinyatakan pendapat lama. Mayoritas ulama sepakat hukumnya boleh.
Bahkan, Qadhi Abu Bakar secara tegas berpandangan, shalat di sepertiga malam berjamaah hingga akhir malam, tak satu pun riwayat dari para imam mazhab yang mengatakan makruh. Perbedaan ada bila yang dimaksud ta’qib adalah para kembali dan menunaikan shalat berjamaah tersebut sebelum tidur. Hal ini dinilai bisa memberatkan mereka.
Pada 2005 Mufti Agung Mesir saat itu, Syekh Ali Jumah, mengeluarkan fatwa resmi atas nama Dar al-Ifta yang ia pimpin. Ia menjelaskkan, shalat sunah apa pun yang belum pernah dicontohkan Rasulullah secara berjamaah hukumnya boleh dilakukan. Tidak ada unsur makruh.
Cukup jadikan merujuk pada Ibnu Abbas. Seperti hadis muttafaq alaih, sahabat yang terkenal dengan gelar turjaman Alquran itu pernah mengikuti shalat Tahajud di belakang Rasulullah saat berada di kediaman Maimunah.
Abdullah bin Masud juga pernah melakukan hal serupa di lain kesempatan. Ketentuan ini tak hanya terbatas pada Ramadhan, tetapi boleh juga dilakukan di luar bulan suci itu.
Fenomena Tahajud berjamaah, seperti yang berlaku sekarang ini, sebut Syekh Jumah yang kini digantikan oleh Mufti Agung Syekh Syauqi Ibrahim Abd el-Karim Allam itu, tak jadi soal selama aktivitas tersebut tidak ada unsur mewajibkan dan keharusan al-ijab.
Jika ada unsur mewajibkan, rentan termasuk kategori bid’ah yang dilarang. Yakni, mewajibkan suatu perkara syariat sendiri, tidak pernah mengisyaratkannya. Di sisi lain, tindakan mewajibkan itu membebani umat di luar batas kemampuan fisik mereka.
Riwayat Aisyah mengisahkan bagaimana Rasulullah memberikan pelajaran ke sejumlah sahabat. Konon, mereka mengikuti pola shalat sunah Rasul. Hingga Rasul sengaja tidak menampakkan diri.
Kala pagi suatu hari, Rasul pun shalat, lalu memberikan pengertian bahwa aksi “menghilang” tersebut dilakukan agar menghindari kesan wajib terhadap ibadah tertentu. “Aku takut kalian menganggapnya wajib, lalu kalian tak mampu melakukannya,” sabda Rasul.
jumrahonline | jumrah.com